Selasa, 06 Maret 2012

CERPEN : SETIAP DETIK YANG MENEGANGKAN


Di pagi yang masih dingin terdengar suara pintu kamarku terketuk dari luar. Aku langsung terkejut dan terbangun karena jika adik mengetuk pintu kamarku berarti waktu menunjukkan pukul 04.30 dan ternyata benar. Segera aku melompat dari tempat tidur dan segera ku nyalakan lampu belajarku.

            “Gawat, aku hari ini ada ulangan Bahasa Indonesia dan susulan ulangan Bahasa Inggris” Segera ku cari buku Bahasa Inggris dan Buku Bahasa Indonesia di atas tempat tidurku yang berantakan.
            “Nah, ketemu, saatnya belajar. Bismillah”. Segera ku baca kedua buku itu satu persatu apalagi materi pelajaran Bahasa Inggris adalah passive voice materi yang tidak terlalu ku mengerti.
            “Ayo, ayo aku bisa. Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses”. Aku menyemangati diriku seperti apa yang dilakukan Alif dalam novel Negeri 5 Menara.
            Beberapa saat kemudian, materi yang aku pelajaripun selesai. Dan pintu kamarku pun kembali diketuk oleh Ibu.
            “Nduk, ayo mandi!. Sudah jam lima, nanti terlambat lho”, teriak Ibu dari dapur.
            “Iya bu, ini lho sudah selesai belajarnya”. Segera ku bereskan buku-buku dan ku rapikan lagi tempat tidurku.
            Segera aku menyabet handuk dan pergi ke kamar mandi, aku ingat bahwa hari ini aku ada janji dengan Mr. X, kepala sekolahku untuk membicarakan revisi proposal pengajuan sponsor untuk majalah semester II kami. Setelah selesai mandi, segera ku laksanakan ibadah sholat shubuhku yang telah ku tunda dari tadi.
            “Nduk, ayo makan dulu”. Terlihat ibu di dapur sedang menggoreng telur ceplok untukku.
            “Dek, ayo makan juga. Jangan nonton tv terus”. Kataku sambil keluar dari kamar.
            “Lho, kok makan di dapur? Kenapa tidak di ruang tv?” Tanya Ibu sambil keheranan karena tidak biasanya aku sarapan di dapur.
            “Cepet-cepet bu, ada janji sama Mr. X masalah proposal majalah kemarin”. Segera ku lahap sarapan pagiku dengan penuh semangat karena aku takut terlambat.
            “Ya sudah, dijalani saja. Namanya juga sudah kewajiban”, dengan tersenyum Ibu mengatakan seperti itu”
            “Iya bu. Bu, pamit dulu, sudah jam 05.45 dan semoga saja tidak telat”. Ku pegang tangan Ibu untuk salim sambil sedikit mengeluarkan air mata karena aku takut telat.
            “Sudah jangan menangis, segera saja berangkat dan jangan lupa berdo’a agar tidak terlambat”.
            “Assalammu’alaikum”
            “Wa’alaikum salam”
            Di pagi yang masih dingin dan agak gelap, segera ku buka pintu rumahku dan menuruni tangga untuk menuju jembatan yang menghubungkan kampungku dengan kampung sebelah. Sungai yang ada di bawah jembatan itu sudah sangat kotor dan seperti biasa setiap bagi ada beberapa orang yang buang air besar di situ. Setelah ku lewati jembatan, segera ku berlari menaiki jalan yang menanjak menuju jalan raya.
            Betapa sepinya jalan raya pada jam-jam segini. Ku lanjutkan lariku di pagi ini bersama dengan kedua orang mahasiswa UM yang sedari tadi lari pagi.
            “Wow, ternyata mereka mau adu lari. Ayo!!!” Mereka terus menambah kecepatan di saat aku berlari sambil senyum-senyum yang entah apa aku tidak yahu maksud dari senyuman mereka itu.
Setelah sampai di depan CafĂ© D’Bour segera ku menunggu angkutan kota GL untuk ke sekolah. Dan malang nasibku karena yang ku tunggu dari tadi tidak kunjung lewat. Yang terlihat hanyalah beberapa orang bapak yang mengantarkan anaknya pergi ke sekolah. Maklumlah, karena di depan tempat aku berdiri sekarang ada deretan sekolah dari SD-SMA.
Setelah aku mendapatkan angkutan, segera ku beranjak dari tempat itu dan segera menaiki angkot. Tiba-tiba handphone ku bergetar dan ternyata Gala yang menelfon. Gala adalah siswa kelas XI, dia sebagai ketua ekstrakulikuler jurnalistik. Selain aku dan dia , ada juga temanku yang lain yaitu Mbak Rifka dia sebagai sekretaris dan Bu Sita sebagai pembiana ekstrakulikulerku. Dan aku sendiri sebagai pimpinan redaksi majalah, berulang kali aku menolaknya tapi tetap saja tidak boleh ganti. Segera ku angkat telfon itu.
            “Halo Gal, ada apa ?”
            “Aida, kamu di mana?”. Tanyanya dengan nada gugup
            “Aku di perjalanan. Ada apa emangnya ?”
            “Gini, aku belum sampai di sekolah soalnya aku jilid proposal yang kita kerjakan kemarin”
            “Oh iya nggak apa-apa Gal, tapi cepet yah”, kataku nada sedikit cemas.
            “Oke Aida. Assalammu’alaikum”
            “Wa’alaikum salam”
            Setelah telfon itu aku tutup, semakin aku takut karena tidak bisa tepat waktu. Namun, ku yakinkan pada diriku sendiri bahwa aku pasti bisa tepat waktu. Dan alhamdulillah, jam 06.10 aku sudah sampai di sekolah. Aku berdiri di samping pintu gerbang, memandang jauh ke jalan raya yang masih sedikit lengang serta Pak Satpam yang masih berdiri di tempat untuk segera mengatur lalu lintas.
            “Hai Da”, sapa Mbak Rifka dari kejauhan sambil sedikit berlari.
            “Iya Mbak, sudah dari tadi ya?”
            “Nggak kok, aku barusan dateng. Gala katanya masih jilid proposal ya?
            “Iya mabak, aku takut telat”, kataku dengan nada lesu karena takut.
            “Santai aja ya”, katanya lagi sambil tersenyum simpul.
            Mr. X adalah kepala sekolahku yang terkenal tertib administrasi dan tepat waktu. Beliau juga orang yang mudah tersinggung bila kata-kata kita terkesan meminta beliau untuk menandatangani atau menyetujui sesuatu. Kemarin, gara-gara salah kata, Gala dan Mbak Rifka dimarahi habis-habisan oleh Mr. X dan dipanggil semua staf sekolah untuk mengurus satu proposal yang tidak beres. Dan Mr. X meminta agar revisi proposal dan laporan pertanggung jawaban majalah kemarin segera di serakan kepada beliau pada hari ini jam 6 pagi.
            “Aida, itu Gala dateng”, teriakny` sambil beranjak dari duduknya karena senang teman seperjuangan telah datang.
            “Gal, jilidan proposalnya mana ?, tanyaku dengan segera. Lihat tuh Mr. X sudah berdiri di lobby”
            “Belum, aku tadi sudah antri tapi ternyata orang yang jilid gak ada”, jawabnya dengan muka memelas.
            “Ya sudahlah, mau apa lagi. Bu Sita jadi dating jam berapa”, segera ku lihat beberapa anak telah memasuki pintu gerbang sekolah karena hari sudah semakin siang.
            “Aku tadi di telfon, katanya orangnya jam setengah enam baru bangun dan belum mandi dan barusan katanya kena macet”, Gala membuka handphone sambil melihat jam.
            “Jam berapa Gal ?”, tanya Mbak Rifka
            “Jam 06, 25”, jawabnya dengan datar dan tanpa ekspresi
            “Ayo Gal, masuk aja udah jam segini takut dimarahi Mr. X”, ku pegang tangan Gala sambil memohon dengan muka memelas dan penuh harap.
            “Gak bisa, kita harus nunggu Bu Sita, apapun yang terjadi dan jam berapa orang itu datang”, jawabnya dengan sedikit emosi.
            Kita masih tetap menunggu dengan tas yang masih berada di punggung. Beberapa saat tiba-tiba terlihat Bu Rini yang menghampiri kami dan mengingatkan agar jujur dan berbicara halus jika berhadapan dengan Mr. X. Dan kami mengiyakan apa yang diucapkan oleh beliau.
            “Gal, laporan pertanggung jawabannya ada sama kamu?”, tanya Mbak Rifka
            “Nggak, di Bu Sita. Bu Sita yang bikin”
            “Gal, ayo masuk aja. 5 menit lagi masuk lo. Kita kan udah datang dari tadi, nanti dikira telat gimana?”, rengekku lagi dengan penuh harap.
            “Nah, itu Bu Sita. Siip”.
Kita bertiga segera mendatangi Bu Sita dengan perasaan lega karena sudah lelah menunggu dari tadi.
            “Ini laporan pertanggung jawabannya, nanti bilang saja kalau belum lengkap karena datanya masih terselip”, kata Bu Sita sambil menjelaskan dan menunjukkan laporan pertanggung jawaban yang ada di tangan kirinya.
            “Iya bu, nanti kalau ditanya masalah sponsor bilang kalau uang kita sudah cukup jadi, sponsor dibatalkan”, tanya Gala ke Bu Sita.
            “Iya, seperti apa yang saya katakana kemarin malam. Ya sudah, ayo kita masuk”, ajak Bu Sita sambil terus melangkah menaiki tangga menuju depan ruangan Mr. X.
            Setelah sampai, kami berdoa bersama agar sidang dari Mr. X hari ini tidak menyakitkan. Kamipun segera memasuki ruangan Mr. X tetapi beliau tidak ada di tempat dan kami keluar lagi. Bu Sita pergi mencari Mr. X ke ruang guru dan kami menunggu di depan ruang Mr. X dan bercakap-cakap dengan Bu Nina dan Bu Lisa. Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan.
            “Saya kalau bilang janjian jam 6 ya sebelum jam 6 saya sudah  di sini. Tapi saya tidak mau kalau kalian tidak tepat waktu”, katanya dengan nada tinggi yang menggelegar sambil berjalan menuju ruangannya yang diikiti dengan langkah Bu Sita di belakang beliau.
            “Iya pak, tapi kan”, jawab Bu Sita yang tiba-tiba terpotong oleh kata-kata Mr. X.
            “Sudah tidak ada tapi-tapi”, potongnya sambil membuka pintu ruangannya.
            Kami bertiga hanya diam mematung dan tak tahu apa yang harus kami lakukan, yang pasti kami rasakan adalah rasa takut dan detak jantung yang semakin kencang. Tapi kami terus bersabar dan menundukkan kepala mendengar teriakan Mr. X. Dengan segera kami memasuki ruangan beliau dan duduk di sofa berwarna putih.
            “Maaf Pak, kami terlambat menghadap. Tapi saya sudah sampai di sekolah dari jam 06.10 tadi”, kataku membuka percakapan.
            “Tapi, dalam kamus saya tidak ada kata terlambat dan harus kalian ingat bahwa saya sudah datang dari tadi sebelum jam 6. Silahkan telfon rumah saya, jam berapa saya tadi pagi berangkat dari rumah. Ayo telfon”, katanya dengan kumis sedikit naik dan kacamata yang mulai terpasang di mata beliau. Serta sambil menunjukkan handphone kepada kami.
            “Begini pak, saya tadi yang terlambat., saya minta maaf. Dan masalah proposal sponsor, kami sudah membatalkannya karena kami rasa uang kami sudah cukup dan untuk laporan pertanggung jawaban majalah semester kemarin, kami sudah membuatnya hanya saja data-data belum lengkap”, kata Bu Sita menjelaskan dengan menunjukkan laporan pertanggung jawaban dan proposal. Kami bertiga hanya menunduk dan Mr. X bermain dengan penanya yang berwarna keemasan dan muka merah padam karena emosi. Kemudian beliau memegang handphone dan menelfon seseorang.
            Bu Sita terus menjelaskan tentang proposal dan laporan pertanggung jawaban. Mr. X tetap tidak menghiraukan hingga kemudian pintu terbuka dan terlihat sosok guru yang mungil dan berkerudung masuk ke dalam ruangan dan duduk di antara aku dan Mr. X, beliau adalah Bu Tia wakil kepala sekolah urusan kesiswaan.
            Dan diskusi kami pun berjalan dengan lancar walaupun Mr. X masih dengan muka dongkolnya namun, Bu Tia tetap bisa mengendalikan situasi dan beliau berperan sebagai penengah. Kesimpulan dari apa yang kita bicarakan hari ini adalah majalah tetap terbit dengan percetakan lama dengan tidak jadi mencari sponsor, proposal untuk sekolah sudah jadi, laporan pertanggung jawaban akan segera kami selesaikan. Dan tak lupa Bu Tia memberikan arahan tentang majalah dan proposal.
            Setelah menemukan titik temu dan menarik kesimpulan. Mr. X memberikan sedikit wejangan atau nasihat kepada kami.
            “Apa kalian masih marah kepada saya?”, tanya beliau dengan muka yang terlihat tidak marah dan nada yang agak tinggi.
            “Tidak Pak”, jawab kami bertiga, Bu Sita dan Bu Tia.
            “Kalau kalian masih marah tidak apa-apa karena saya akan sangat bersyukur sebagai orang yang teraniaya agar saya dapat melambaikan tangan kepada kalian dari surga dan kalian ada di neraka”, kata-kata yang sungguh sangat pedas dan terasa menyat hati kami semua yang ada di ruangan itu. Muka kami lesu bercambur marah dan kecewa.
            “Tapi, tidak apa-apa saya sudah memaafkan kalian”, sambungnya lagi.
            “Iya pak, kami minta maaf apabila perbuatan kami selama ini ada yang salah atau tidak berkenan di hath bapak”, jawab Gala dengan sedikit senyum.
            “Iya, saya memang orangnya begini jadi mohon dimaklumi. Mungkin saya kasar tapi itu saya lakukan agar kalian tidak mengulang kesalahan yang sama”, dengan sedikit senyum di pipinya dan kumis yang naik sebelah.
            “Iya pak, terima kasih. Ya sudah, kami pamit dulu”, sambung Gala.
            “Iya pak, atas bimbingan yang diberikan kepada kami”, kata Bu Sita dengan senyum di bibirnya yang terlihat lega.
            Kami pun berpamitan untuk kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pelajaran jam kedua. Kami berusaha memetik hikmah dari apa yang terjadi pada hari ini dan kemarin serta menjadikannya pelajaran agar tidak terulang di masa yang akan datang. Satu pesan dari Mr. X dan Bu Tia “fokuslah ke majalah kalian dan buat sebagus mungkin, karena itu adalah gambaran dari kerja kalian selama ini”.
            Alhamdulillah, masalah ini telah terselesaikan dan tidak ada dendam di antara kami semua. Man Shabara Shafira, barang siapa yang bersabar pasti akan beruntung. Kataku dalam hati sambil tersenyum dalam perjalanan menuju kelasku yang terlihat masih jauh.
                                                                                                                       
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar