Di pagi yang masih dingin terdengar
suara pintu kamarku terketuk dari luar. Aku langsung terkejut dan terbangun
karena jika adik mengetuk pintu kamarku berarti waktu menunjukkan pukul 04.30
dan ternyata benar. Segera aku melompat dari tempat tidur dan segera ku
nyalakan lampu belajarku.
“Gawat,
aku hari ini ada ulangan Bahasa Indonesia dan susulan ulangan Bahasa Inggris”
Segera ku cari buku Bahasa Inggris dan Buku Bahasa Indonesia di atas tempat
tidurku yang berantakan.
“Nah,
ketemu, saatnya belajar. Bismillah”. Segera ku baca kedua buku itu satu persatu
apalagi materi pelajaran Bahasa Inggris adalah passive voice materi yang tidak terlalu ku mengerti.
“Ayo,
ayo aku bisa. Man jadda wajada, siapa
yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses”. Aku menyemangati diriku seperti apa
yang dilakukan Alif dalam novel Negeri 5 Menara.
Beberapa
saat kemudian, materi yang aku pelajaripun selesai. Dan pintu kamarku pun
kembali diketuk oleh Ibu.
“Nduk, ayo mandi!. Sudah jam lima, nanti terlambat
lho”, teriak Ibu dari dapur.
“Iya
bu, ini lho sudah selesai belajarnya”. Segera ku bereskan buku-buku dan ku
rapikan lagi tempat tidurku.
Segera
aku menyabet handuk dan pergi ke kamar mandi, aku ingat bahwa hari ini aku ada
janji dengan Mr. X, kepala sekolahku untuk membicarakan revisi proposal
pengajuan sponsor untuk majalah semester II kami. Setelah selesai mandi, segera
ku laksanakan ibadah sholat shubuhku yang telah ku tunda dari tadi.
“Nduk, ayo makan dulu”. Terlihat ibu di
dapur sedang menggoreng telur ceplok untukku.
“Dek,
ayo makan juga. Jangan nonton tv terus”. Kataku sambil keluar dari kamar.
“Lho,
kok makan di dapur? Kenapa tidak di ruang tv?” Tanya Ibu sambil keheranan
karena tidak biasanya aku sarapan di dapur.
“Cepet-cepet
bu, ada janji sama Mr. X masalah proposal majalah kemarin”. Segera ku lahap
sarapan pagiku dengan penuh semangat karena aku takut terlambat.
“Ya
sudah, dijalani saja. Namanya juga sudah kewajiban”, dengan tersenyum Ibu
mengatakan seperti itu”
“Iya
bu. Bu, pamit dulu, sudah jam 05.45 dan semoga saja tidak telat”. Ku pegang
tangan Ibu untuk salim sambil sedikit mengeluarkan air mata karena aku takut
telat.
“Sudah
jangan menangis, segera saja berangkat dan jangan lupa berdo’a agar tidak
terlambat”.
“Assalammu’alaikum”
“Wa’alaikum
salam”
Di
pagi yang masih dingin dan agak gelap, segera ku buka pintu rumahku dan
menuruni tangga untuk menuju jembatan yang menghubungkan kampungku dengan
kampung sebelah. Sungai yang ada di bawah jembatan itu sudah sangat kotor dan
seperti biasa setiap bagi ada beberapa orang yang buang air besar di situ.
Setelah ku lewati jembatan, segera ku berlari menaiki jalan yang menanjak
menuju jalan raya.
Betapa
sepinya jalan raya pada jam-jam segini. Ku lanjutkan lariku di pagi ini bersama
dengan kedua orang mahasiswa UM yang sedari tadi lari pagi.
“Wow,
ternyata mereka mau adu lari. Ayo!!!” Mereka terus menambah kecepatan di saat
aku berlari sambil senyum-senyum yang entah apa aku tidak yahu maksud dari
senyuman mereka itu.
Setelah sampai
di depan CafĂ© D’Bour segera ku menunggu angkutan kota GL untuk ke sekolah. Dan malang nasibku karena yang
ku tunggu dari tadi tidak kunjung lewat. Yang terlihat hanyalah beberapa orang
bapak yang mengantarkan anaknya pergi ke sekolah. Maklumlah, karena di depan
tempat aku berdiri sekarang ada deretan sekolah dari SD-SMA.
Setelah aku
mendapatkan angkutan, segera ku beranjak dari tempat itu dan segera menaiki
angkot. Tiba-tiba handphone ku
bergetar dan ternyata Gala yang menelfon. Gala adalah siswa kelas XI, dia
sebagai ketua ekstrakulikuler jurnalistik. Selain aku dan dia , ada juga
temanku yang lain yaitu Mbak Rifka dia sebagai sekretaris dan Bu Sita sebagai
pembiana ekstrakulikulerku. Dan aku sendiri sebagai pimpinan redaksi majalah,
berulang kali aku menolaknya tapi tetap saja tidak boleh ganti. Segera ku
angkat telfon itu.
“Halo
Gal, ada apa ?”
“Aida,
kamu di mana?”. Tanyanya dengan nada gugup
“Aku
di perjalanan. Ada
apa emangnya ?”
“Gini,
aku belum sampai di sekolah soalnya aku jilid proposal yang kita kerjakan
kemarin”
“Oh
iya nggak apa-apa Gal, tapi cepet
yah”, kataku nada sedikit cemas.
“Oke
Aida. Assalammu’alaikum”
“Wa’alaikum
salam”
Setelah
telfon itu aku tutup, semakin aku takut karena tidak bisa tepat waktu. Namun,
ku yakinkan pada diriku sendiri bahwa aku pasti bisa tepat waktu. Dan
alhamdulillah, jam 06.10 aku sudah sampai di sekolah. Aku berdiri di samping
pintu gerbang, memandang jauh ke jalan raya yang masih sedikit lengang serta
Pak Satpam yang masih berdiri di tempat untuk segera mengatur lalu lintas.
“Hai
Da”, sapa Mbak Rifka dari kejauhan sambil sedikit berlari.
“Iya
Mbak, sudah dari tadi ya?”
“Nggak kok, aku barusan dateng. Gala
katanya masih jilid proposal ya?
“Iya
mabak, aku takut telat”, kataku dengan nada lesu karena takut.
“Santai
aja ya”, katanya lagi sambil tersenyum simpul.
Mr.
X adalah kepala sekolahku yang terkenal tertib administrasi dan tepat waktu.
Beliau juga orang yang mudah tersinggung bila kata-kata kita terkesan meminta
beliau untuk menandatangani atau menyetujui sesuatu. Kemarin, gara-gara salah
kata, Gala dan Mbak Rifka dimarahi habis-habisan oleh Mr. X dan dipanggil semua
staf sekolah untuk mengurus satu proposal yang tidak beres. Dan Mr. X meminta
agar revisi proposal dan laporan pertanggung jawaban majalah kemarin segera di
serakan kepada beliau pada hari ini jam 6 pagi.
“Aida,
itu Gala dateng”, teriakny` sambil beranjak dari duduknya karena senang teman
seperjuangan telah datang.
“Gal,
jilidan proposalnya mana ?, tanyaku dengan segera. Lihat tuh Mr. X sudah
berdiri di lobby”
“Belum,
aku tadi sudah antri tapi ternyata orang yang jilid gak ada”, jawabnya dengan muka memelas.
“Ya
sudahlah, mau apa lagi. Bu Sita jadi dating jam berapa”, segera ku lihat
beberapa anak telah memasuki pintu gerbang sekolah karena hari sudah semakin
siang.
“Aku
tadi di telfon, katanya orangnya jam setengah enam baru bangun dan belum mandi
dan barusan katanya kena macet”, Gala membuka handphone sambil melihat jam.
“Jam
berapa Gal ?”, tanya Mbak Rifka
“Jam
06, 25”, jawabnya dengan datar dan tanpa ekspresi
“Ayo
Gal, masuk aja udah jam segini takut dimarahi Mr. X”, ku pegang tangan Gala
sambil memohon dengan muka memelas dan penuh harap.
“Gak bisa, kita harus nunggu Bu Sita,
apapun yang terjadi dan jam berapa orang itu datang”, jawabnya dengan sedikit
emosi.
Kita
masih tetap menunggu dengan tas yang masih berada di punggung. Beberapa saat
tiba-tiba terlihat Bu Rini yang menghampiri kami dan mengingatkan agar jujur
dan berbicara halus jika berhadapan dengan Mr. X. Dan kami mengiyakan apa yang
diucapkan oleh beliau.
“Gal,
laporan pertanggung jawabannya ada sama kamu?”, tanya Mbak Rifka
“Nggak, di Bu Sita. Bu Sita yang bikin”
“Gal,
ayo masuk aja. 5 menit lagi masuk lo. Kita kan udah datang dari tadi, nanti dikira
telat gimana?”, rengekku lagi dengan penuh harap.
“Nah,
itu Bu Sita. Siip”.
Kita bertiga
segera mendatangi Bu Sita dengan perasaan lega karena sudah lelah menunggu dari
tadi.
“Ini
laporan pertanggung jawabannya, nanti bilang saja kalau belum lengkap karena
datanya masih terselip”, kata Bu Sita sambil menjelaskan dan menunjukkan
laporan pertanggung jawaban yang ada di tangan kirinya.
“Iya
bu, nanti kalau ditanya masalah sponsor bilang kalau uang kita sudah cukup
jadi, sponsor dibatalkan”, tanya Gala ke Bu Sita.
“Iya,
seperti apa yang saya katakana kemarin malam. Ya sudah, ayo kita masuk”, ajak Bu
Sita sambil terus melangkah menaiki tangga menuju depan ruangan Mr. X.
Setelah
sampai, kami berdoa bersama agar sidang dari Mr. X hari ini tidak menyakitkan.
Kamipun segera memasuki ruangan Mr. X tetapi beliau tidak ada di tempat dan
kami keluar lagi. Bu Sita pergi mencari Mr. X ke ruang guru dan kami menunggu
di depan ruang Mr. X dan bercakap-cakap dengan Bu Nina dan Bu Lisa. Tiba-tiba
terdengar suara dari kejauhan.
“Saya
kalau bilang janjian jam 6 ya sebelum jam 6 saya sudah di sini. Tapi saya tidak mau kalau kalian
tidak tepat waktu”, katanya dengan nada tinggi yang menggelegar sambil berjalan
menuju ruangannya yang diikiti dengan langkah Bu Sita di belakang beliau.
“Iya
pak, tapi kan”,
jawab Bu Sita yang tiba-tiba terpotong oleh kata-kata Mr. X.
“Sudah
tidak ada tapi-tapi”, potongnya sambil membuka pintu ruangannya.
Kami
bertiga hanya diam mematung dan tak tahu apa yang harus kami lakukan, yang
pasti kami rasakan adalah rasa takut dan detak jantung yang semakin kencang.
Tapi kami terus bersabar dan menundukkan kepala mendengar teriakan Mr. X.
Dengan segera kami memasuki ruangan beliau dan duduk di sofa berwarna putih.
“Maaf
Pak, kami terlambat menghadap. Tapi saya sudah sampai di sekolah dari jam 06.10
tadi”, kataku membuka percakapan.
“Tapi,
dalam kamus saya tidak ada kata terlambat dan harus kalian ingat bahwa saya
sudah datang dari tadi sebelum jam 6. Silahkan telfon rumah saya, jam berapa
saya tadi pagi berangkat dari rumah. Ayo telfon”, katanya dengan kumis sedikit
naik dan kacamata yang mulai terpasang di mata beliau. Serta sambil menunjukkan
handphone kepada kami.
“Begini
pak, saya tadi yang terlambat., saya minta maaf. Dan masalah proposal sponsor,
kami sudah membatalkannya karena kami rasa uang kami sudah cukup dan untuk
laporan pertanggung jawaban majalah semester kemarin, kami sudah membuatnya
hanya saja data-data belum lengkap”, kata Bu Sita menjelaskan dengan
menunjukkan laporan pertanggung jawaban dan proposal. Kami bertiga hanya
menunduk dan Mr. X bermain dengan penanya yang berwarna keemasan dan muka merah
padam karena emosi. Kemudian beliau memegang handphone dan menelfon seseorang.
Bu
Sita terus menjelaskan tentang proposal dan laporan pertanggung jawaban. Mr. X
tetap tidak menghiraukan hingga kemudian pintu terbuka dan terlihat sosok guru
yang mungil dan berkerudung masuk ke dalam ruangan dan duduk di antara aku dan Mr.
X, beliau adalah Bu Tia wakil kepala sekolah urusan kesiswaan.
Dan
diskusi kami pun berjalan dengan lancar walaupun Mr. X masih dengan muka
dongkolnya namun, Bu Tia tetap bisa mengendalikan situasi dan beliau berperan
sebagai penengah. Kesimpulan dari apa yang kita bicarakan hari ini adalah
majalah tetap terbit dengan percetakan lama dengan tidak jadi mencari sponsor,
proposal untuk sekolah sudah jadi, laporan pertanggung jawaban akan segera kami
selesaikan. Dan tak lupa Bu Tia memberikan arahan tentang majalah dan proposal.
Setelah
menemukan titik temu dan menarik kesimpulan. Mr. X memberikan sedikit wejangan
atau nasihat kepada kami.
“Apa
kalian masih marah kepada saya?”, tanya beliau dengan muka yang terlihat tidak
marah dan nada yang agak tinggi.
“Tidak
Pak”, jawab kami bertiga, Bu Sita dan Bu Tia.
“Kalau
kalian masih marah tidak apa-apa karena saya akan sangat bersyukur sebagai
orang yang teraniaya agar saya dapat melambaikan tangan kepada kalian dari
surga dan kalian ada di neraka”, kata-kata yang sungguh sangat pedas dan terasa
menyat hati kami semua yang ada di ruangan itu. Muka kami lesu bercambur marah
dan kecewa.
“Tapi,
tidak apa-apa saya sudah memaafkan kalian”, sambungnya lagi.
“Iya
pak, kami minta maaf apabila perbuatan kami selama ini ada yang salah atau
tidak berkenan di hath bapak”, jawab Gala dengan sedikit senyum.
“Iya,
saya memang orangnya begini jadi mohon dimaklumi. Mungkin saya kasar tapi itu
saya lakukan agar kalian tidak mengulang kesalahan yang sama”, dengan sedikit
senyum di pipinya dan kumis yang naik sebelah.
“Iya
pak, terima kasih. Ya sudah, kami pamit dulu”, sambung Gala.
“Iya
pak, atas bimbingan yang diberikan kepada kami”, kata Bu Sita dengan senyum di
bibirnya yang terlihat lega.
Kami
pun berpamitan untuk kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pelajaran
jam kedua. Kami berusaha memetik hikmah dari apa yang terjadi pada hari ini dan
kemarin serta menjadikannya pelajaran agar tidak terulang di masa yang akan
datang. Satu pesan dari Mr. X dan Bu Tia “fokuslah ke majalah kalian dan buat
sebagus mungkin, karena itu adalah gambaran dari kerja kalian selama ini”.
Alhamdulillah,
masalah ini telah terselesaikan dan tidak ada dendam di antara kami semua. Man Shabara Shafira, barang siapa yang
bersabar pasti akan beruntung. Kataku dalam hati sambil tersenyum dalam
perjalanan menuju kelasku yang terlihat masih jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar